Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Bersama DPR dan DPD tanggal 15 Agustus 2025 menjadi perhatian luas masyarakat. Selain menyampaikan capaian kinerja pemerintahan, Presiden juga menekankan arah kebijakan ekonomi ke depan, termasuk strategi menjaga pertumbuhan, efisiensi fiskal, dan reformasi struktural di berbagai sektor. Dari sudut pandang ekonomi makro dan ekonometrika, pidato tersebut menyimpan sejumlah poin penting yang layak dibahas lebih dalam.
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Presiden menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berada di atas 5% dengan inflasi rendah sekitar 2,5%. Secara makro, kombinasi pertumbuhan tinggi dan inflasi rendah dikenal sebagai kondisi stabilitas makroekonomi yang ideal.
Kebijakan yang ditekankan antara lain:
-
Penguatan konsumsi domestik melalui program makan bergizi gratis (MBG) untuk 82 juta anak dan ibu hamil. Program ini bukan sekadar kebijakan sosial, melainkan instrumen fiskal yang dapat meningkatkan permintaan agregat. Permintaan yang naik akan mendorong sektor pertanian, peternakan, dan UMKM tumbuh, sehingga menciptakan multiplier effect yang luas.
-
Peningkatan investasi, dengan realisasi Rp 942 triliun pada semester I 2025 yang berhasil menyerap 1,2 juta tenaga kerja. Hal ini memperkuat peran komponen I (investment) dalam fungsi pendapatan nasional Y=C+I+G+(X−M)Y = C + I + G + (X – M).
-
Ekspor bersih (X–M) yang membaik, didukung oleh surplus produksi beras dan jagung serta akses pasar baru melalui perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa.
Jika kebijakan ini konsisten, target pertumbuhan 5,4% pada 2026 sangat mungkin dicapai tanpa menciptakan tekanan inflasi berlebihan.
Kebijakan Fiskal: Efisiensi dan Peran BUMN
Pidato Presiden juga menyoroti langkah efisiensi besar-besaran dalam APBN. Sebanyak Rp 300 triliun dana yang rawan diselewengkan—terutama perjalanan dinas dan pos birokrasi lain—dialihkan ke program produktif. Dari sudut pandang ekonomi publik, langkah ini sejalan dengan prinsip alokasi anggaran optimal: belanja negara harus memberi dampak langsung pada pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar menjaga birokrasi.
Selain itu, Presiden menargetkan kontribusi BUMN sebesar 50 miliar dolar AS ke kas negara. Strategi ini penting untuk memperkuat sumber penerimaan non-pajak, sekaligus mengurangi defisit dan ketergantungan pada utang. Namun, untuk mencapai target tersebut, reformasi BUMN harus dilakukan secara serius: pemangkasan birokrasi, peningkatan tata kelola, dan penerapan prinsip good corporate governance.
Dari perspektif makro, optimalisasi BUMN berarti memperkuat sisi penawaran (supply side) ekonomi nasional, karena BUMN berperan besar di sektor energi, pangan, transportasi, dan telekomunikasi. Dengan kontribusi yang besar, BUMN bukan hanya menjadi sumber penerimaan negara, tetapi juga motor pembangunan jangka panjang.
Distorsi Struktural dan Ketimpangan
Presiden juga menyinggung fenomena anomali: Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia justru sempat mengalami kelangkaan minyak goreng. Hal ini menunjukkan adanya distorsi struktural dalam mekanisme pasar akibat praktik kartel dan manipulasi distribusi.
Dari kacamata makro, fenomena ini menjadi tantangan serius karena distorsi harga pangan bisa memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat kecil. Oleh karena itu, intervensi negara sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 menjadi penting untuk menyeimbangkan efisiensi pasar dengan keadilan distribusi.
Program koperasi desa, pengawasan distribusi pangan, dan intervensi harga dasar gabah adalah contoh langkah kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat ekonomi kerakyatan, sekaligus mengurangi ketimpangan antar kelompok masyarakat.
Pembangunan Manusia sebagai Investasi Jangka Panjang
Pidato juga banyak menyinggung program pendidikan dan kesehatan, termasuk sekolah rakyat, sekolah unggul Garuda, penambahan fakultas kedokteran, hingga renovasi ribuan sekolah dan madrasah. Dari sisi makroekonomi, ini adalah bentuk investasi modal manusia (human capital investment) yang akan meningkatkan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Ketika kualitas pendidikan membaik dan akses kesehatan merata, produktivitas tenaga kerja akan meningkat. Pada gilirannya, hal ini memperkuat potensi output nasional (potential GDP).
Perspektif Ekonometrika: Mengukur Efektivitas Kebijakan
Pidato Presiden sarat dengan target kuantitatif yang dapat diuji efektivitasnya melalui pendekatan ekonometrika. Beberapa di antaranya:
-
Program MBG dapat dievaluasi dengan metode Difference-in-Difference (DiD), membandingkan kehadiran sekolah dan prestasi anak di daerah penerima program dengan daerah yang belum menerapkannya.
-
Produktivitas pertanian akibat subsidi pupuk langsung dan harga dasar gabah bisa dianalisis menggunakan panel data regression antarprovinsi untuk melihat pengaruh kebijakan terhadap hasil panen.
-
Hubungan dinamis belanja pemerintah, investasi, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi dapat dimodelkan dengan Vector Autoregression (VAR).
-
Efisiensi realokasi anggaran Rp 300 triliun bisa diukur menggunakan Stochastic Frontier Analysis (SFA) atau Data Envelopment Analysis (DEA), sehingga terlihat seberapa besar output ekonomi yang dihasilkan dari setiap rupiah belanja pemerintah.
Dengan pendekatan ini, pemerintah tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga mampu mengevaluasi dampak empiris secara objektif.
Pentingnya Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional
Presiden juga menegaskan pembentukan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sebagai fondasi penentuan penerima manfaat program pemerintah. Dari sudut pandang ekonometrika, keberadaan data berkualitas tinggi sangat krusial.
Tanpa data yang akurat, model ekonometrik akan bias (biased estimates) dan menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan. Sebaliknya, dengan data tunggal yang terintegrasi, analisis kebijakan bisa dilakukan lebih presisi, sehingga program bantuan sosial benar-benar tepat sasaran.
Evaluasi Target dan Tantangan
Secara umum, pidato Presiden menunjukkan kombinasi strategi demand side (mendorong konsumsi dan daya beli rakyat) dan supply side (efisiensi BUMN, investasi energi bersih, koperasi desa). Strategi ini sesuai dengan kerangka pembangunan inklusif yang berorientasi pada pertumbuhan sekaligus pemerataan.
Namun, tantangannya tidak kecil. Beberapa catatan kritis antara lain:
-
Risiko fiskal dari program makan gratis yang bernilai ratusan triliun perlu dikelola agar tidak membebani APBN secara berlebihan.
-
Target kontribusi BUMN sebesar USD 50 miliar membutuhkan restrukturisasi yang kompleks, termasuk mengatasi masalah utang dan tata kelola.
-
Kapasitas implementasi kebijakan, terutama di tingkat daerah, akan menentukan apakah program seperti koperasi desa atau sekolah rakyat benar-benar berjalan efektif.
Kesimpulan
Pidato Presiden Prabowo pada 15 Agustus 2025 memberikan gambaran optimis mengenai arah kebijakan ekonomi Indonesia. Dari perspektif ekonomi makro, program yang disampaikan menekankan stabilitas pertumbuhan, efisiensi fiskal, investasi pada modal manusia, dan peran strategis BUMN. Dari perspektif ekonometrika, kebijakan tersebut membuka ruang evaluasi kuantitatif yang dapat mengukur efektivitas dan efisiensi program secara objektif.
Jika pemerintah konsisten menggabungkan visi makro dengan disiplin evaluasi berbasis data, maka target pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan sangat mungkin tercapai. Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini akan menjadi fondasi penting bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045, yakni bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.